Category Archives: israel

kenaPa simbol @ ada dialamat email

Kenapa simbol @ ada di alamat email ?

.fullpost{display:inline;}

Anda pasti sudah tahu, kalau untuk penulisan email, selalu menggunakan simbol @. Tapi, tahukah anda sebabnya ?
Simbol @ ini merupakan simbol yang paling banyak diterima/digunakan, bahkan dalam berbagai bahasa. Kita menyebutnya at sign (edsain). Kalau teman saya biasa mengatakan “a jungkir” (maksudnya huruf a yang terjungkir/terbalik :) ).

Ada puluhan kata berbeda yang digunakan untuk menjelaskan arti dari simbol tersebut. Banyak bahasa menggunakan kata-kata yang mengasosiasikan bentuk simbol dengan beberapa jenis binatang.

Contohnya :

apestaart – Belanda untuk “ekor monyet”

snabel – Denmark untuk “bagasi gajah ”

kissanhnta – Finlandia untuk “ekor kucing ”

klammeraffe – Jerman untuk “monyet menggantung”

kukac -Hungaria untuk “cacing”

dalphaengi – Korea untuk “siput”

grisehale – Norwegia untuk “ekor babi ”

sobachka – Rusia untuk “anjing kecil”

Sebelum menjadi simbol standar untuk e-mail, simbol @ biasanya digunakan untuk menunjukkan biaya atau satuan berat. Misalnya, jika Anda membeli lima buah jeruk, masing-masing seharga $ 1,25 / jeruk, Anda dapat menulisnya 5 buah jeruk masing-masing seharga @ $ 1.25 . Cara penulisan seperti ini masih digunakan untuk berbagai formulir dan tagihan di seluruh dunia.

cari alasan kalah, israel bingung

SAVE PALESITNA JALUR GAZA
ZULFIRMAN

Israel berniat mengakhiri perang di Jalur Gaza. Mereka mulai goyah oleh tekanan internasional dan domestik. Persoalannya, Israel bingung sendiri bagaimana mengakhiri serangan tanpa harus kehilangan muka.

Suasana di kabinet Israel belakangan mulai memanas. Persoalannya bukan pada bagaimana melanjutkan operasi militer di Jalur Gaza. Sebaliknya, mereka kini mencari jawaban bagaimana untuk meninggalkan wilayah Palestina itu.

Ketegangan bahkan terjadi di antara tokoh-tokoh kunci kabinet Perdana Menteri Ehud Olmert. Tak tanggung-tanggung, kunci persoalan ada pada Olmert. Dia bersilang pendapat dengan Menteri Pertahanan Ehud Barak dan Menteri Luar Negeri Tzipi Livni soal kelanjutan perang di Gaza.

Hari-hari ini, Olmert makin sering menggelar sidang kabinet. Sabtu (10/1), misalnya, dia menggelar sidang kabinet terbatas bidang kamanan. Menurut sumber yang dekat dengan Olmert, suasana sidang menjadi panas. Barak dan Livni dilaporkan bersikeras mengakhiri Operation Cast Lead secepat mungkin. Tapi, Olmert tetap pada pendiriannya, operasi militer harus menusuk ke jantung Jalur Gaza.

Olmert kini agaknya ketar-ketir juga. Kenangan dua tahun lalu masih terngiang di pikirannya. Saat itu, Israel kalah dalam perang 33 hari melawan Lebanon yang ditulangpunggungi pasukan Hizbullah. Olmert tak bisa lupa karena dialah yang dipersalahkan atas kekalahan itu.

Itulah sebabnya, dia meminta warga Israel untuk lebih sabar dan determinatif. Dengan begitu, dia berharap Israel masih bisa mencapai target mereka di Jalur Gaza. Target utamanya adalah menggulingkan Hamas yang menguasai Gaza.

“Israel kian mendekati target-target ini. Tapi, kesabaran dan determinasi dibutuhkan untuk mencapai target tersebut,” ujarnya.

Karena itu, saat berkunjung ke Askelon, Senin (12/1) malam, Olmert menegaskan Israel memiliki dua syarat untuk mengakhiri perang. “Pertama, sudahi penembakan roket ke arah Israel. Kedua, hentikan penyelundupan senjata ke Gaza,” katanya.

Kalau tidak, Israel, katanya siap memperluas eskalasi serangan militer ke Jalur Gaza. Dia menilai pasukannya meraih hasil yang memuaskan dalam pertempuran di Jalur Gaza. Mereka membuat Hamas terpukul lebih ketimbang yang pernah dirasakan selama ini.

Dalam hal ini, Olmert kembali berseberangan dengan Barak dan Livni. Dua menteri senior ini juga keberatan dengan makin meluasnya wilayah operasi. Apalagi, belakangan serangan Israel juga mulai menyentuh wilayah Mesir yang berdekatan dengan perbatasan Palestina.

Israel memang tak sepenuhnya bisa melumpuhkan Gaza, meski mereka memiliki pasukan dan persenjataan yang jauh lebih modern. Mereka kesulitan menghadapi militansi Hamas. Meski operasi sudah menewaskan lebih dari 900 warga Palestina, kelompok militan itu masih bisa melepaskan roket ke arah Israel. Olmert boleh tak gentar. Tapi, warga Israel mulai ngeri juga menghadapi serangan sporadis Hamas.

Pada Minggu (11/1), misalnya, pejuang Palestina masih bisa melepaskan sejumlah roket ke lima kota di Israel serta markas angkatan udara mereka yang hanya berjarak 10 km dari Tel Aviv. Dua roket Grad mendarat di Beersheba, kota di selatan Israel, menghantam bangunan dan kendaraan. Sedikitnya lima warga Israel terluka. Roket juga mengenai wilayah kota Netivot, Sderot, Ashkelon, dan Ashdod.

Kecuali itu, meski menewaskan lebih 900 orang warga Palestina, secara politis Israel menderita kekalahan. Mereka mendapat kecaman dari hampir seluruh dunia. Pangkal soalnya tentulah aksi brutal Israel yang menewaskan banyak orang tak berdosa: warga sipil, perempuan, dan anak-anak.

Israel, menurut banyak lembaga resmi, bahkan bisa diseret ke meja hijau karena melakukan kejahatan perang. Tak kurang dari lembaga hak asasi manusia PBB menilai Israel telah melanggar hak asasi manusia dengan semena-mena.

Di sisi lain, Israel juga mendapat musuh baru akibat ulah brutalnya ini. Venezuela, misalnya, mengusir Duta Besar Israel dari Caracas. Mauritania dan Yordania pun memanggil pulang Dubesnya dari Tel Aviv.

Di seantero dunia, demo anti-Israel berlangsung dimana-mana. Bahkan termasuk juga di Israel sendiri. Sabtu lalu, misalnya, sedikitnya seribu orang Israel melancarkan protes, berdemonstrasi di dekat Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv, meminta pejabat mereka menilai ulang kebijakan militer mereka di Gaza.

Ironisnya, kebijakan Olmert, Barak, dan Livni, juga mendapat kecaman dari masyarakat Yahudi di seluruh dunia. Dari Turki, Australia, Kanada, Inggris, hingga Amerika Serikat, mereka mengecam perang, terutama banyaknya warga sipil, wanita, dan anak-anak yang jadi korban. Bayangkan, Yahudi melakukan demonstrasi menantang Israel di negara-negara yang selama ini menjadi pendukung utama mereka!

“Kami bukan musuh Arab. Kami ingin bersahabat,” bunyi sebuah spanduk yang diusung Yahudi di Turki.

Jelaslah, dari banyak sisi, Israel di ambang kekalahan di Jalur Gaza. Maka, kini yang bisa dilakukan Olmert, Barak, dan Livni, adalah bagaimana mengakhiri perang tanpa merasa dipermalukan.

sampaikan pada indonesia, semuanya …

“….Korban yang berjatuhan akibat serangan Israel di Gaza terus meningkat…”. Demikianlah bunyi headline berita dari hari kehari, selama 2 minggu ini. Dengan pokok kalimat yang hampir sama, tapi angka yang disebutkan selalu berubah, bertambah besar dan membesar. Dari angka seratus korban meninggal dunia, hingga hari ini lebih dari 700. dari angka ratusan korban luka parah, dan hari ini kudengar lebih dari 3.000. Sampai kapan angka-angka ini tak lagi bertambah. Tak sanggup lagi rasanya kudengar berita yang kian hari kian memilukan.

Kubayangkan betapa besarnya penderitaan rakyat palestina saat ini, khususnya yang bermukim di Gaza. Hari-hari mereka dicekam oleh rasa ketakutan, dengan suara bom yang memekakkan telinga, menghancurkan tempat tinggal mereka, merobek tubuh-tubuh tak berdosa. Setiap saat mereka dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan, “Akankah esok anak-anak mereka masih bisa mereka peluk?”, “Akankah esok anak-anak mereka masih bisa bertemu muka dengan ayahnya?” atau “Akankan esok mereka masih bisa menjadi ibu dan memberikan curahan kasih sayang kepada anak-anaknya?”. Sungguh runtunan pertanyaan yang memerihkan hati untuk dijawab.

Bukankah selama ini mereka juga sudah cukup menderita selama hidup berdampingan dengan kaum Yahudi Israel, dengan segala ketamakan dan kekejaman mereka yang ingin membunuh rakyat Palestina secara perlahan-lahan. Segala pelanggaran HAM yang sudah dilakukan oleh zionis Israel tak bisa dituntut oleh satupun undang-undang perlindungan hak azazi manusia. Bahkan sekarang kaum Zionis tersebut pun sudah tak sabar ingin segera menghabisi seluruh rakyat palestina dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Dan gegap gempitanya demonstrasi dari seluruh penjuru dunia yang menyuarakan agar dihentikannya kebrutalan Israel tersebut pun seperti tak didengarkan oleh manusia yang tangannya punya kuasa untuk menghentikan peristiwa berdarah ini. Seolah telinga mereka tertutup headset dan sedang mendengarkan senandung lagu merdu yang membuai dan menina bobokkan mereka. Padahal di sebuah tempat disana, saudaranya sesama manusia, saudaranya seiman sedang memekikkan rintihan perih saat nyawanya meregang dengan tubuh bersimbah darah. Sungguh sebuah situasi yang jauh dari rasa nyaman, aman dan damai.

Didalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik” (QS. Al maidah : 82). Demikianlah peringatan Allah kepada kita tentang betapa berbahayanya kaum Yahudi tersebut.

Aku pernah merasakan ketidaknyamanan berada bersama satu orang Israel, ditengah ratusan rakyat non Israel di sebuah Aula Universitas yang sangat nyaman. Jauh berbeda dari situasi di Gaza sana, yang dikelilingi oleh ribuan orang Israel disebuah tempat yang penuh “kenyamanan” atas “keramahan dari sebuah bangsa” yang memutus komunikasi rakyat Gaza dengan dunia luar, memutus aliran listrik dan air dan sekarang menghadiahi mereka dengan ratusan roket, rudal dan tembakan senjata api.

Ramadhan lalu (9-12 September 2008), aku menghadiri kongres umum EUCARPIA (European Association for Research on Plant Breeding), yang diadakan di kota Valencia ”City of the arts and sciences“, Spanyol. Peserta yang datang mayoritas memang berasal dari berbagai negara di Eropa dan Amerika walaupun ada beberapa peserta yang berasal dari Afrika dan Asia.

Selama kongres berlangsung, kuperhatikan ada seseorang yang berpenampilan berbeda, selain aku tentunya. Seorang pria, berusia sekitar 50 tahunan, dengan peci kecil dikepala, dan tali yang berjuntai di belakang celananya, dibawah T-shirt yang dikenakkannya. Sebenarnya hal itu tak ingin kuambil pusing, jika saja beliau tidak terlalu sering menyita perhatian peserta kongres dengan kegelisahan yang dia tunjukkan, selalu keluar masuk ruangan dan tak pernah duduk lama bahkan untuk mendengarkan satu topik seminar saja. Tapi hal ini belum begitu berkesan bagiku, hingga pada saat dia memperkenalkan siapa dirinya kepadaku.

Waktu itu aku sedang berkeliling mengamati poster-poster hasil penelitian yang disajikan, menjelang waktu penjemputan oleh bus-bus ke penginapan masing-masing tiba. Aku mencari poster yang menurut daftar disajikan oleh peserta dari Iran dan seharusnya berada di deretan pertama didepan. Kulewati ”pria tersebut“ yang berdiri disamping posternya, sedang menjelaskan sesuatu kepada dua orang peserta yang menghampirinya. Sayangnya poster yang ingin kulihat tidak ada. Akhirnya aku kembali mengamati poster yang lain. Tiba-tiba kudengar seseorang berteriak “Hey….“, aku menoleh kearah asal suara. Kulihat ”pria tersebut“ melihat padaku seraya berkata:
” Hey…where do you come from? “
Sepertinya jelas dia sedang bertanya kepadaku. Aku sedikit kaget dengan nada suaranya yang tinggi, tak seperti orang bertanya. Kujawab bahwa aku datang dari Jerman, dan kusebutkan nama Universitas tempat aku melanjutkan study yang tercantum di kartu nama yang terkalung di leherku, sambil tersenyum.

Dia melanjutkan dengan pertanyaan yang aneh, seperti interogasi bagiku karena dia mengucapkan dengan nada yang tetap tinggi dan wajah yang sangat tak ramah.
” Do you live for all your life in Germany? “

Sebenarnya di dalam hati aku merasa sedikit bingung disuguhi pertanyaan tersebut. Tapi aku jawab juga pertanyaannya, kukatakan bahwa sebenarnya aku berasal dari Indonesia dan sekarang aku sedang melanjutkan studiku di Jerman, dan setelah aku menyelesaikan studiku nanti tentu saja aku akan pulang ke negaraku.

Dia memberikan komentar yang jauh lebih aneh,
”So why you said that you come from Germany, but actually you are an Indonesian and why you write there (dia menunjuk pada kartu nama di leherku) that you come from Germany?“

Masih kuusahakan dengan menebar seyuman menjawab pertanyaannya. Kujelaskan bahwa pada kongres ini aku mempresentasikan sebagian hasil penelitian PhD-ku dan tentu saja artinya aku adalah utusan dari Institusi tempat aku melanjutkan studi saat ini, bukan dari Indonesia. Aku tak habis fikir atas pertanyaannya, yang mempermasalahkan informasi di kartu namaku yang ditulis oleh panitia berdasarkan informasi yang didapatkan dari professorku, karena beliau yang mengurus masalah registrasi dan segala akomodasi untukku disini.

”I come from Israel“ dia melanjutkan pembicaraan, sambil mengangkat kartu nama di lehernya ”You know Isreal?“ lanjutnya.

Ku jawab, “Of course I know. This is yours?“ Berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan kutanyakan apakah poster tersebut miliknya.

”Yes“ jawabnya, dengan nada arogan.

Kuamati print-an di atas beberapa lembar kertas A4 yang disusun, menyerupai poster, berjudul ”Genetic diversity of Solanum melongena* in Israel“. Kubaca sekilas tulisannya, dan dia menyela dengan menyodorkan sehelai kartu namanya padaku seraya berkata :
”Tell to all Indonesian people, that you meet a friendly man from Israel.“

Sinar kebencian jelas terlihat dari wajah dan suaranya. Kuperhatikan sekilas kartu namanya, seorang Doktor dari Universitas Israel dan mengaku punya keahlian sebagai pemulia tanaman, ahli genetik, statistik, dan evolusi, demikian yang tertulis di kartu namanya.

Kukatakan padanya “tentu saja” dan kututup pembicaraan sambil berkata ”sangat senang bisa berjumpa dengan anda” sambil kembali tersenyum ramah dan berlalu menuju poster yang lain. Dua peserta yang sedang menghampiri posternya menjadi saksi pembicaraan kami, dan mereka hanya terdiam selama kami berbicara. Kulihat kembali deretan poster-poster tanpa konsentrasi, sementara di kepalaku masih terbayang ekspresi wajah “pria” yang sepertinya seusia dengan ayahku, tapi tak ada aura ramah kebapakan di wajah tersebut. Yang kuingat sampai saat ini wajahnya yang bengis, nada suaranya yang keras, dan senyum sinisnya selama pembicaraan singkat kami berlangsung.

Sepanjang sisa rangkaian acara hari itu, aku berfikir, seumur hidupku aku tak pernah bertemu dengan seorang yahudi dari bangsa israel, cerita tentang mereka hanya kuketahui dari berita yang kudengar dan kubaca. Dan hari ini, salah seorang dari mereka sudah menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya di depan mataku. Tak hanya dari penampilan fisiknya, tapi dia tunjukkan juga siapa mereka sebenarnya dari sikap dan tingkah lakunya. Dengan bangga dia beri aku petunjuk tentang rahasia siapa dirinya.

Di dalam bus, sepanjang perjalanan menuju hotel tempat aku menginap, aku masih terdiam. Aku merasa sedikit menggigil, rasa tidak nyaman menjalar di sekujur tubuhku. Hal yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Selama lebih dari dua tahun aku berada di sekeliling orang-orang non-muslim di negeri sang mantan penguasa diktator Hitler. Bahkan ketika aku berkunjung ke Valencia ini pun, aku satu-satunya wanita bersama tiga orang peserta dari Institut kami, seorang teman dari Belgia yang juga sedang menyelesaikan S3, seorang head researcher di Institut kami dan Professor kami yang sekaligus pimpinan Institut. Aku tak merasa sedikitpun asing bersama mereka, karena mereka sudah terbiasa menerima keadaanku dengan hijab penutup auratku serta hal-hal lainnya yang melekat padaku. Termasuk tidak ikut berpartisipasinya aku saat makan siang, karena mereka tahu Ramadhan tiba. Tapi hari itu, “pria” itu mengingatkanku akan berbedanya aku. Dan sepertinya hanya dia yang membuat aku merasa tidak nyaman. Buktinya pada hari-hari lain selama kongres, pembicaraan normal bisa berlangsung antara aku dan beberapa peserta dari berbagai negara.

Aku bisa membayangkan betapa “ramahnya” kalian wahai bangsa zionis Israel. Dengan “keramahanmu” kau berikan rasa “nyaman” pada rakyat yang kau rampas tanahnya, kau usir dari kampung halamannya, kau ambil hak-hak mereka, kau pisahkan anak dari ibunya, istri dari suaminya. Kau tebarkan senyumanmu diatas tangisan dan jeritan rakyat palestina. Kau simbahi negeri mereka dengan darah dari ayah, suami, ibu, saudara, anak dan bayi-bayi mereka hingga sekarang memerah dan merahnya tak kering sampai hari ini. Melalui tulisan ini ingin kusampaikan pesanmu kepada rakyat Indonesia, tentang “keramahanmu”.

Pagi ini, mengawali aktivitas “dapur” kulihat dari jendela, hamparan putih salju yang sudah hampir seminggu betah untuk berlama-lama menyelimuti hijaunya rerumputan. Membuat sinar matahari tampak lebih berseri-seri karena pantulan cahayanya. Sebuah pemandangan yang sangat indah, tersisip pujian dihati pada Illahi Rabbi walaupun udara dinginnya menembus ujung-ujung jemari. Nun jauh disana, pekik Takbir dikumandangkan saudara-saudaraku, walaupun hamparan merah darah yang ada disana sama sekali tak indah. Tapi keindahan yang akan mereka raih melebihi indahnya dunia, syahidnya mereka, merupakan kemuliaan disisi Allah. Semoga kemenangan akan segera menjadi milikmu wahai saudaraku, semoga……..

* = Tanaman Terong

Göttingen, 10 Januari 2009, (Dari Zentrum kota Göttingen, kami kembali menyuarakan keprihatinan kami untukmu saudara-saudaraku di Gaza).

kekejian israel di jalur gaza

Dua dokter Norwegia menggambarkan kekejian pasukan Zionis di Jalur Gaza sama dengan tragedi pembantaian di kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila di Libanon pada tahun 1982. Meski tidak ada data yang pasti tentang jumlah korban dalam tragedi itu, jumlah pengungsi Palestina yang gugur akibat pembantaian keji itu mencapai 2.000 orang.

Kalau dalam peristiwa Sabra Satila Israel memanfaatkan kelompok milisi Kristen Libanon untuk membantai pengungsi Palestina, dalam kasus Gaza, Israel sendiri yang langsung mengerahkan pasukannya untuk membantai warga Gaza.

Peristiwa Sabra-Shatila, terjadi ketika Israel yang mengambil kontrol kamp pengungsi Sabra-Shatila mengijinkan milisi Kristen Libanon Phalangis masuk ke kamp pengungsi tersebut dan membantai penghuninya, para pengungsi Palestina, selama tiga hari di depan mata tentara-tentara Israel yang sama sekali tidak berusaha menghentikan pembantaian itu.

“Gaza tahun 2009 menjadi bab berdarah baru dalam sejarah Palestina dan Timur Tengah dan bisa dibandingkan dengan peristiwa Sabra dan Satila,” kata Mads Gilbert pada para wartawan di bandara Gardermoen, Oslo.

Dokter Gilbert dan rekannya dokter Erik Fosse, kembali ke Norwegia setelah 10 hari menjalankan tugas kemanusiaan di Jalur Gaza. Mereka mengatakan bahwa 90 persen korban luka yang dirawat di Rumah Sakit Shifa di Gaza, adalah warga sipil terutama anak-anak dibawah usia 18 tahun dan kaum perempuan.

“Kami berharap, tidak akan pernah melihat hal seperti ini lagi,” sambung Gilbert yang bertugas ke Libanon saat peristiwa Sabra dan Shatila terjadi.

Ia menegaskan, bombardir Israel harus segera dihentikan dan perbatasan-perbatas an harus dibuka agar warga sipil bisa mendapatkan makanan, air dan bisa mencari tempat yang aman.

Kedua dokter itu juga mengungkapkan kembali kecurigaannya bahwa Israel telah menggunakan senjata berbahaya dalam serangannya ke Jalur Gaza. “Ada kecurigaan kuat, saya pikir Gaza sekarang ini sedang dijadikan laboratorium untuk menguji senjata-senjata baru Israel,” kata Gilbert.

Menurut kedua dokter itu, mereka melihat jelas indikasi penggunaan Dense Inert Metal Explosives (DIME)-sebuah bentuk eksperimen bahan peledak-di Jalur Gaza. “Itu merupakan generasi baru peledak yang bentuknya kecil tapi memiliki kekuatan yang luar biasa dan bisa menghambur sampai jarak lima atau 10 meter,” ungkap Gilbert, 61.

Ia menambahkan, “Kami belum pernah melihat korban-korban yang diakibatkan oleh ledakan bom secara langsung, karena biasanya mereka meninggal dan tubuh mereka sudah hancur menjadi serpihan daging. Tapi kali ini kami melihat tubuh korban yang teramputasi secara brutal, tapi kami tidak menemukan luka bekas pecahan bom dan kami menduga kuat hal itu disebabkan oleh senjata DIME.”

Gilbert mengatakan, Israel harus berterus terang senjata-senjata apa yang mereka gunakan. Dunia internasional, kata Gilbert, juga harus melakukan penyelidikan atas senjata-senjata mematikan yang telah digunakan Israel untuk membantai rakyat Palestina di Gaza. (ln/aby/iol)